Minggu, 26 Maret 2017

Musibah, yang tidak pernah diperkirakan. (episode 1)

Hari ke delapan,

sore itu saya hanya bisa menatap ke plafond yang ada di kamar tidur. Terlihat di plafond yang terbuat dari triplek dengan cat berwarna putih, ada lukisan-lukisan berwarna coklat yang terbuat karena kebocoran dari atap seng yang sudah berkarat.  Kalaulah terjadi lagi kebocoran waktu itu, saya pun tidak bisa berbuat apa-apa, seperti yang biasa saya lakukan sebelumnya.  Saya naik ke atas plaflond dan masuk di para-para, kemudian saya cari lubang-lubang bocor yang biasanya karena karatan dari persentuhan seng dengan penahan balok. Saya tempel dari bawah dengan seng kembali yang diberikan lem besi.

Adzan berkumandang pun saya hanya bisa mendengarkan suaranya tanpa bisa mendatanginya, padahal kadang saya sendiri yang adzan untuk memanggil jamaah untuk datang sholat berjamaah.  Usaha maksimal saya hanya bisa berjamaah di rumah dengan istri dan anak-anak saya, tetapi saya sebagai imam hanya duduk dan kadang kaki menggelonjor di kursi yang ditempatkan di depan tempat duduk saya.

Hitungan hari ini, saya tetapkan untuk istirahat total di kamar tidur karena kaki terasa sangat sakit sekali, terutama sisi dalam dari kaki kiri saya, ketika posisi tergantung, karena pergerakan tubuh saya ketika saya mau ke kamar mandi, atau pindah tempat ke kursi karena rasa bosan atau karena ada tamu yang menjenguk saya.

Di hari ke delapan ini, saya kadang tergambar kejadian awal dari Musibah yang saya dapat.

Hari pertama,

Setelah mengawas ujian tertulis di kelas bagi siswa yang akan mengikuti ujian kompetensi keahlian di sekolah saya, saya berniat ke kantor, dimana teman-teman berkumpul di sana.  Suasana hujan keras, area yang harus saya lewati adalah lahan kosong yang masih bertanah, sehingga untuk melewatinya saya harus melihat-lihat mana tanah yang perlu saya pijak yang tidak berair.  Lama saya lihat-lihat, jarak yang ditempuh sekitar 7-8 meter.  Setelah berketetapan hati, saya pun melangkah di bawah guyuran hujan, saya ikuti tanah yang tidak tergenang air. Hingga di ujung rute yang sudah dekat dengan kantor saya, saya lihat ada aliran air hujan di tanah yang cukup lebar, melebihi ayunan langkah terjauh saya.  Tidak ada jalan lain, saya harus melompat, tanpa ancang-ancang, saya pun melompat dengan kaki kanan yang berpijak ke tanah terlebih dahulu. Karena lebar dan tanpa ancang-ancang, sebenarnya saya sampai di seberang tanah yang tidak dialiri air, tapi keseimbangan badan tidak bisa terjaga sehingga terpeleset.  Sewaktu terpeleset inilah, kaki kiri saya mencoba untuk menahannya, tetapi sekilas saya lihat tanahnya tidak datar, ada gundukan kecil sehingga kaki kiri pun terpeleset juga dan mengakibat suara yang hanya bisa saya dengar. Saya pun berseru, "patah kaki saya!!!"

Sekilas saya lihat tonjolan di kaki bagian dalam saya dengan warna agak kehitaman. Namun ketika saya mau raba saya tidak bisa menjangkaunya.  Saya pun berusaha untuk bangkit tetapi tidak ada daya untuk itu. Akhirnya saya pun hanya bisa mengangkat tangan ke atas, minta tolong.  Rupanya peristiwa jatuhnya saya dilihat teman guru di kejauhan, yang kemudian beliau teriak-teriak untuk memberitahu kejadian saya. Tidak lama datang siswa-siswa mengangkat saya dari genangan untuk di bawa ke kantor. Ketika diangkat itu saya lihat kaki kiri saya tidak terkulai.

Saya pun ditidurkan dimatras yang ada di kantor.  Sakit kadang muncul dari kaki saya yang patah itu.  Mulut saya tidak henti berdzikir kepada-Nya, diselingi rasa sakit, kadang muncul rasa takut dan masa depan akan kaki saya, cacatlah dan tidak bisa melakukan sesuatu seperti biasanya. Disela-sela ributnya teman-teman guru akan penanganan kaki saya, ada teman yang menegaskan jangan dibawa ke dokter/puskesmasrumah sakit tapi bawa ke tukang urut tulang.  Saya hanya diam saya belum bisa memutuskan, akhirnya saya ikuti apa yang menjadi keputusan teman guru. Teman guru yang lain berusaha untuk mencari kendaraan untuk mengantar saya ke tempat tukang urut tulang.

Singkat cerita saya sudah ada di mobil menuju tempat tukang urut, yang berjarak kurang lebih 10 km. Setiap mobil melewati jalanan jelek, terasa kaki saya sakit dan tulang seperti beradu antara ujung patahan yang satu dengan yang lainnya.  Saya pun hanya bisa berdzikir menahan sakit.  Rupanya rasa sakit dan beradunya tulang dirasakan juga teman guru yang tangannya memegang kaki saya di lutut dan telapak kaki.

Alhamdulillah, tukang urut berada di tempat di rumahnya, tidak sedang bepergian. Belakangan ketahuan ternyata beliau punya rencana ke kota sejak pagi, tetapi karena hujan sehingga batal untuk pergi.  Beliau membiarkan saya tetap berada di mobil dan langsung ditanganinya.  Dimulai dengan memegang kaki saya, dan kemudian mencoba menarik tulang yang patah untuk ditempat kembali ditempatnya semula.  Beliau bertanya apakah sakit, saya jawab tidak.  Setelah selesai, beliau kembali ke rumahnya dan kemudian membawa sebatang bambu kecil dan mengukur panjangnya dengan kaki saya.  Kembali lagi ke rumahnya, entah apa yang dikerjakannya karena memakan waktu yang cukup lama.

Rupanya beliau sedang membuat semacam alat dari bambu yang terrangkai mengelilingi kaki saya sehingga kaki saya tidak bisa bergerak bebas.  Diikat kuat dan dialasi kain ditempat ikatan kaki.  Kemudian beliau meminta air aqua besar dan beliau doakan airnya, yang mana air itu dipakai untuk kompres di kain yang disediakan untuk kaki saya.  Hanya itu, rasa sakit saya tidak terlalu lagi.  Kami pun pergi ke tempat dimana saya biasa bermalam di rumah teman.




Tidak ada komentar: