Senin kemarin adalah jadwal saya ke pulau. Seperti biasa sebelum menyebrang dengan jolloro, kami biasa singgah dan istirahat di rumah H. N, yang kadang belakang rumahnya dijadikan dermaga untuk sebagaian Jolloro, yang akan menjual rumput laut atau udang hasil budidaya masyarakat pulau.
Oh iya untuk diketahui, H. N ini adalah seorang pengusaha pengumpul hasil laut terutama rumput laut dan udang. Dulunya sebelum tinggal di daratan beliau adalah salah satu penduduk pulau juga. Selama kenal dengan beliau, baik dalam melakukan perjalanan bersama atau dalam pergaulan sehari-hari, ketika di rumahnya maupun ketika berada di pulau, beliau adalah seorang yang tidak pernah meninggalkan sholat di awal waktu dan selalu di masjid. (Saya tidak tahu kalau ketika saya tidak bersama beliau). Dalam bertutur kata dan hubungannya dengan sesama baik keluarga, karyawannya, kolega maupun kami sebagai teman dan tamu baginya, sangatlah luar biasa. sehingga saya menilai bahwa kepribadiannya yang tercampur dengan keyakinan beragama yang demikian merupakan sosok yang paripurna sesuai kapasitasnya.
kami sedang duduk-duduk di ruang tamu, H. N lewat didepan kami dengan senyumannya dan kemudian berhenti sejenak untuk selanjutnya menghadapkan badannya menjurus ke arah saya. Tanpa terduga beliau bertanya, "Kapan kita (kita untuk masyarakat sulawesi selatan adalah panggilan yang sopan untuk anda/kamu) mulai puasa?" Cukup kaget juga ditanya seperti itu. Sebenarnya saya untuk tahun ini menghindari untuk berbicara panjang lebar apalagi sifatnya berdebat mengenai awal bulan puasa, dimana untuk tahun ini ada yang puasa sabtu dan ada yang puasa hari minggu. Hingga sebelum H. N itu bertanya terhitung hanya satu dua orang teman yang bertanya tentang hal itu. Satu teman bahkan bertanya hanya sepertinya untuk meyakinannya diri (walau sudah yakin sebenarnya), karena ketika saya tanya balik dia pun menyatakan sama.
Akhirnya saya pun menjawab dengan ringkas, "Sabtu!" tanpa bertanya balik karena saya tidak mau terjadi perdebatan yang bertele-tele! Tapi respon H. N atas jawaban saya sungguh diluar dugaan saya sendiri. Beliau bilang, "Yang benar hari Sabtu!", "Kenapa Haji?" saya pun akhirnya bertanya. Jawabnya, "Saya puasa hari Minggu, tapi bulan sudah tinggi sekali!" Untuk orang-orang yang biasa berkecimpung di laut, dan mungkin juga untuk orang-orang yang berpikiran seperti mereka, mereka biasa melihat kondisi panorama langit pada malam hari sebagai petunjuk untuk kehidupan sehari-hari mereka. Dulu ketika ramai-ramainya ribut perbedaan penentuan awal bulan, ada tetangga yang menyatakan bahwa saya pernah menjadi nelayan selama 7 tahun, dan tahu mana sudah tanggal 1 dan tidak, walau bulan tidak kelihatan (he-he....huebat banget! Pemerintah saja setengah mati menentukannya, maksudnya harus pakai alat segala!).
Untung setelah H. N menyatakan seperti itu beliau pergi meninggalkan ruang tamu. Huff! Saya menyadari kondisi H. N sebagai seorang yang beragama dengan aktifitas ibadahnya yang tidak sesuai dengan keyakinannya. Tetapi rupanya rasa seperti penyesalan yang dialami H. N, dialami juga sebagian masyarakat pulau dimana saya ikut shalat taraweh berjamaah di masjid setempat. Penceramah menyampaikan di awal ceramah bahwa kita tidak perlu risau karena penentuan puasa hari Minggu adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah! Atas penyampaian penceramah itu, iseng-iseng saya tanya teman di pulau ketika keluar dari masjid setelah selesai shalat taraweh, "Kenapa Penceramah menyampaikan seperti itu. Bulan kelihatan sudah tinggi ya!" Teman itu pun mengiyakan pertanyaan saya. Saya pun berolok-olok dengan dia, "kalau saya puasa sabtu memang!" Dia pun menukas olok-olok saya dengan mengatakan, "kalau begitu pak Furqon Muhammadyah" seraya tertawa renyah! Sambil tertawa tetapi mata tetap awas ke langkah kaki sebagai pijakan karena pengaruh gelapnya jalan setapak yang kami lalui (maklum di kampuang) saya bilang, "tidak, tidak!"
Lucu juga, ada asumsi yang mengambil puasa pertama hari sabtu dikatakan adalah orang muhammadyah. Saya berulang kali menyatakan bahwa tidak semua begitu, saya katakan bahwa saya mengambil sikap karena kayakinan akan metode yang dipakai serta gabungan dengan rukyah global! Hal itu pula yang saya jelaskan ke anak saya ketika hari jumat malam bertanya ke saya, karena ada temannya yang bilang bahwa hilal belum nampak ..... di Indonesia! Saya jelaskan tentang bagaimana perputaran bumi, bulan dan matahari sebagai petunjuk bagi manusia. dan bagaimana tidk eloknya ketika ada orang yang beriman yang posisinya di sebelah barat kita yang berpuasa duluan dari kita padahal mereka melihat hilal di bagian lain di dunia selain indonesia!
Seperti judul, bahwa tulisan ini bukan untuk mengungkit benar dan salah! Yang patut diajukan adalah bahwa ketika kita mengambil keputusan tahu akan dasarnya tidak hanya ikut-ikutan yang akan berakibat penyesalan. Ada seseorang yang mengatakan kepada saya, yang saya juga tidak tahu namanya ketika sholat dhuhur di masjid di daerah antang selesai, hendaklah kita menjadi seorang yang mengikuti tetapi tahu akan dasar hukumnya (ittiba) jangan hanya mengikuti tanpa tahu dasar hukumnya (taklid) walau mungkin resiko kesalahan akan terpautkan kepada pemberi dasar hukum. Artinya dalam praktek puasa kemarin, yang mengambil ketetapan apakah sabtu atau minggu hendaknya pribadi masing-masing tahu akan dasar hukumnya. Smoga kita semua memperoleh keberkahan di bulan Ramadhan ini! Dikatakan, "Jika orang tahu akan kehebatan bulan Ramadhan, tentu dia akan bermohon supaya semua bulan dijalan seperti bulan Ramadhan"
L
Senin, 30 Juni 2014
Minggu, 29 Juni 2014
salah satu ekses dari pilpres 2014
He-he...... kasihan kodon (g)! sebagian orang dari pendukung para capres rupanya tidak siap kalah dan boleh jadi tidak siap menang juga pada pilpres 2014 kali ini! Belum mulai saja sudah berandai-andai klo kalah dengan pernyataan yang aneh-aneh, sebagai sebuah ketakutan yang kronis rasanya, yang muncul karena penyakit hati yang berlebihan! Boleh jadi orang-orang seperti ini belum siap untuk menang juga! karena boleh jadi dengan kemenangan penyakit hatinya akan semakin berborok dan berjumawa! (he-he.....istilah aneh dari penontong!).
mungkin sesuatu yang wajar kalau di setiap bangsa dan negara ada orang-orang seperti ini, tetapi kalau jumlahnya melebihi standar kesehatan sebuah negara maka orang-orang seperti ini akan menjadi batu sandungan dalam membentuk negara yang adil dan beradab, akan susah menggapai kata sejahtera baik jasmani maupun rohani!!!
Saaadddaaaaaaarlah wahai para petualang sesaaaaaatttttt!!!!!
mungkin sesuatu yang wajar kalau di setiap bangsa dan negara ada orang-orang seperti ini, tetapi kalau jumlahnya melebihi standar kesehatan sebuah negara maka orang-orang seperti ini akan menjadi batu sandungan dalam membentuk negara yang adil dan beradab, akan susah menggapai kata sejahtera baik jasmani maupun rohani!!!
Saaadddaaaaaaarlah wahai para petualang sesaaaaaatttttt!!!!!
Sabtu, 28 Juni 2014
Catatan kecil (2) perjalanan terakhir (Makassar, Sulawesi Selatan - Luwuk, Sulawesi Tengah)
Panggilan yang sudah lama tidak saya dengar.
Berhubung kami mempergunakan kendaraan yang disebut Bos saya sebagai commercial vehicle sehingga selama perjalanan beberapa kali kami harus berurusan dengan pejabat pengurus yang berhubungan dengan jalan raya, apakah itu pak polisi, pak perhubungan, pak pos ekonomi. Apalagi kami memakai plat nomor yang tidak sesuai dengan daerah yang kami lewati, sehingga mau tidak mau menarik perhatian para bapak tadi.
Terhitung beberapa kali kami distop oleh mereka, terutama di daerah di bagian sulawesi tengah. Yang lucu ada sekitar 2 tempat pemberhentian karena distop oleh petugas tadi, mereka memanggil saya dengan ucapan "ko", seperti, "Mau kemana ko?". atau "Apa yang dibawa ko" atau "Dari mana ko?" Dengan panggilan seperti itu saya jadi tertawa sendiri. Ya betul, tertawa sendiri! Bukan gila sih, hanya teringat kejadian dulu-dulu ketika masih muda. Panggilan ko itu menanda bahwa mereka mengira saya ini orang Tionghoa. Dulu, jangankan orang-orang desa (termasuk mertuanya temen saya di pinrang he-he....(siapa tuh?)), Pengusaha Tionghoa di makassar pun ada yang memanggil saya dengan kata-kata seperti itu, "Ko"
Saya fikir itu dulu ketika saya masih muda, masih putih dan mungkin juga ada sedikit sipit di mata saya. Sekarang kan ceritanya lain, masih tua, kulit juga sudah kabur berwarna tanah kuburan (glek!), mata juga sudah bergelayut lemak tua! tapi tetep saja ada yang memanggil itu, "Ko" He-he....mungkin ciri-ciri seperti yang mereka kira tidak bisa hilang dengan termakannya usia! (mungkin mereka menjawab : "yaa iyaalaahhh!")
Terhadap panggilan "Ko" tadi sebenarnya tidak menjadikan saya sendiri gimana gitu! saya sih ketawa-ketiwi saja, dan tentu masih menjadi orang yang baik, dan selalu siap untuk ditraktir kalian semua he-he...... Dulu, paling tanggapan saya terhadap hal seperti itu saya tanggapi dengan bercanda, entah candaan itu benar atau salah, tetapi saya mengambil dari kejadian ketika ada orang Tionghoa atau keturunan china yang masuk Islam, yang kadang bikin heboh! jadi saya balik dengan mengatakan bahwa : "saya orang Islam yang masuk china". Tetapi atas kasus saya di panggil "Ko" selama perjalanan terakhir saya tidak tanggapi dengan ungkapan itu! Biarkan hal itu menjadi memory yang menyenangkan untuk saya pribadi! dan tentunya menjadi rahasia saya sendiri dengan mata bapak-bapak itu! hiks!
Apa yang dapat diambil pelajaran dari kejadian ini adalah, "Apa dan Siapa pun anda, bagaimana pun warna kulit anda, sipit atau belototnya (bolanya) mata anda, lurus atawa kritingnya rambut anda. anda tetaplah manusia. Yang dengan senyuman manis anda yang keluar dari hati yang bersih akan memudahkan posisi anda di tengah kehidupan" Smoga!
Berhubung kami mempergunakan kendaraan yang disebut Bos saya sebagai commercial vehicle sehingga selama perjalanan beberapa kali kami harus berurusan dengan pejabat pengurus yang berhubungan dengan jalan raya, apakah itu pak polisi, pak perhubungan, pak pos ekonomi. Apalagi kami memakai plat nomor yang tidak sesuai dengan daerah yang kami lewati, sehingga mau tidak mau menarik perhatian para bapak tadi.
Terhitung beberapa kali kami distop oleh mereka, terutama di daerah di bagian sulawesi tengah. Yang lucu ada sekitar 2 tempat pemberhentian karena distop oleh petugas tadi, mereka memanggil saya dengan ucapan "ko", seperti, "Mau kemana ko?". atau "Apa yang dibawa ko" atau "Dari mana ko?" Dengan panggilan seperti itu saya jadi tertawa sendiri. Ya betul, tertawa sendiri! Bukan gila sih, hanya teringat kejadian dulu-dulu ketika masih muda. Panggilan ko itu menanda bahwa mereka mengira saya ini orang Tionghoa. Dulu, jangankan orang-orang desa (termasuk mertuanya temen saya di pinrang he-he....(siapa tuh?)), Pengusaha Tionghoa di makassar pun ada yang memanggil saya dengan kata-kata seperti itu, "Ko"
Saya fikir itu dulu ketika saya masih muda, masih putih dan mungkin juga ada sedikit sipit di mata saya. Sekarang kan ceritanya lain, masih tua, kulit juga sudah kabur berwarna tanah kuburan (glek!), mata juga sudah bergelayut lemak tua! tapi tetep saja ada yang memanggil itu, "Ko" He-he....mungkin ciri-ciri seperti yang mereka kira tidak bisa hilang dengan termakannya usia! (mungkin mereka menjawab : "yaa iyaalaahhh!")
Terhadap panggilan "Ko" tadi sebenarnya tidak menjadikan saya sendiri gimana gitu! saya sih ketawa-ketiwi saja, dan tentu masih menjadi orang yang baik, dan selalu siap untuk ditraktir kalian semua he-he...... Dulu, paling tanggapan saya terhadap hal seperti itu saya tanggapi dengan bercanda, entah candaan itu benar atau salah, tetapi saya mengambil dari kejadian ketika ada orang Tionghoa atau keturunan china yang masuk Islam, yang kadang bikin heboh! jadi saya balik dengan mengatakan bahwa : "saya orang Islam yang masuk china". Tetapi atas kasus saya di panggil "Ko" selama perjalanan terakhir saya tidak tanggapi dengan ungkapan itu! Biarkan hal itu menjadi memory yang menyenangkan untuk saya pribadi! dan tentunya menjadi rahasia saya sendiri dengan mata bapak-bapak itu! hiks!
Apa yang dapat diambil pelajaran dari kejadian ini adalah, "Apa dan Siapa pun anda, bagaimana pun warna kulit anda, sipit atau belototnya (bolanya) mata anda, lurus atawa kritingnya rambut anda. anda tetaplah manusia. Yang dengan senyuman manis anda yang keluar dari hati yang bersih akan memudahkan posisi anda di tengah kehidupan" Smoga!
Jumat, 27 Juni 2014
Catatan kecil (1) perjalanan terakhir (Makassar, Sulawesi Selatan - Luwuk, Sulawesi Tengah)
Lala sang manager cilik.
Karena hujan begitu lebat dan alat penyapu air di kaca mobil tidak terlalu bagus fungsinya, padahal baru dibeli dan dipasang (belakangan baru tahu bahwa cover plastiknya belum dibuka), disamping memang kondisi badan sudah begitu pegal-pegel, rencana bermalam di kota belopa, kabupaten luwu, dirubah menjadi di siwa kabupaten sidrap. Penunjuk waktu sudah menunjukkan jam 10 malam, kami pun berhenti di penginapan sederhana, yang kurang lebih 14 tahun yang lalu saya pun pernah menginap di tempat ini.
Penginapan sebenarnya berada di lantai 2, sedangkan di lantai bawah berfungsi sebagai rumah makan. karena yang terbuka di bagian bawah, jadi kami masuk ke rumah makan, dan mendapati seorang anak perempuan kecil yang duduk tersembunyi di balik lemari kaca berisi berbagai makanan dalam kemasan. kami pun menyampaikan salam dan bertanya tentang kamar untuk menginap. sang anak menyuruh kami ke atas, karena di atas ada bapaknya. Hal itu pun diiyakan oleh seorang ibu, yang rupanya adalah ibunya, yang datang ke ruangan itu. Mendapat kepastian itu kami pun melangkah ke lantai atas.
Benar saja, di lantai atas yang sudah terbuka pintunya ada orangtua yang dibilang Bapaknya di anak perempuan kecil. sang Bos yang saya temani dalam perjalanan melihat-lihat kamar yang akan kami pakai, eee...tidak lama anak perempuan kecil itu pun datang menemani kami melihat-lihat kamar! Setelah sang bos cocok dengan salah satu kamar, kami pun tanya tarif kamarnya. Yang lucu, ketika sang bapak menyebutkan angka, si anak kecil perempuan itu menukaskan dengan harga di bawahnya. saya jadi ketawa dibuatnya, sambil bercanda saya tanya sama bapaknya mana yang benar! (dalam hati pasti si anak yang benar, karena anak kecil apalagi spontan bukanlah kata-kata yang salah. Untuk Si bapak pun saya mengerti dengan menyebutkan angka yang dibantah sama anak kecil perempuannya he-he…..)
Setelah beres-beres di kamar, kami pun menuju kembali ke ruang bawah atau rumah makan untuk mengisi bagian jawa tengah istilah anak muda. Sesampainya di ruang makan, kembali kami bertemu dengan anak kecil perempuan itu, ketika ditanya menu makanan yang ada dengan lancar dia pun menyebutkannya satu per satu. Padahal di meja sebenarnya tersedia daftar menu yang siap sang ibu si anak kecil perempuan sajikan sebagai chef rumah makan itu.
Setelah memilih, kami pun duduk dan mengobrol dengan si anak kecil perempuan itu. Di situlah biodata agak lengkap terungkap he-he….. Anak kecil perempuan yang bersekolah lumayan jauh dari rumah ini dan harus naik bentor (beca dan motor) menuju sekolah adalah siswa kelas 5 naik ke kelas 6. Berumur 11 tahun, ternyata bernama Lala. Sewaktu menyebutkan namanya saya bercanda dengan irama lalalalalaaaa! Dia pun tertawa manis semanis teh manis yang dia sajikan sendiri. (Padahal yang saya pesan tidak pakai gula, alias Teh Panas Tawar! Dia hanya bilang ohhh…dan saya pun memakluminya).
Beberapa lama kami mengobrol, dengan pertanyaan-pertanyaan akan keinginan tahunya tentang kami, yang kami jawab semudah dan semengertinya sesuai dengan umurnya dan kadang disertai canda untuk memudahkan dia mengerti akan jawaban pertanyaannya, terdengar panggilan dari ibunya dari dalam. Lala pun pergi meninggalkan kami, saya pun sudah menduga bahwa makanan sudah selesai dimasak. Benar saja, Lala membawa makanan dalam nampan yang cukup besar sesuai pesanan untuk kami santap. Tapi perbincangan dengan Lala tidak berhenti ketika kami makan. Kami pun sebenarnya senang juga ditemani apalagi setelah lelah dan pegal menjalani perjalanan kurang lebih 7/8 jam.
Selesai makan, kami bertanya berapa yang harus dibayar. Yang surprise ternyata Lala, menyebutkan nilai makanan yang kami makan yang harus dibayar dikurangi kelebihan pembayaran kamar yang kami bayar ke Bapaknya Lala. Sang Bos pun membayar nilai yang disebutkan Lala, dan Lala menerima uang pembayaran itu. Saya pun candai Lala untuk segera menyetor uang tersebut ke Ibunya, saya bilang jangan sampai dibelanjakan untuk kebutuhan dia! Lala pun ketawa mendengar hal itu.
Hujan, masih mengiringi lelapnya tidur kami hingga pagi hari. Begitupun ketika kami bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan yang masih panjang. Lala yang kelihatan agak terlambat bangun sudah berdiri di pintu tanpa sepatah kata pun. Kami menolak tawaran minum teh atau kopi yang ditawarkan karena kami mau mengejar waktu, disela-sela itu saya tanya Lala mau jadi apa kalau sudah besar. Dengan mantap Lala menjawab Dokter! Wah…. Saya pun memberikan jempol untuknya.
Beberapa saat berjalan saya melewati puskesmas yang cukup megah. Saya menduga Lala terinspirasi oleh aktifitas yang berhubungan dengan Puskesmas ini, termasuk Dokter itu! OK, Lala, smoga engkau menjadi dokter yang engkau cita-citakan dan membangun desa mu menjadi masyarakat yang sehat jasmani dan rohani! amin
Karena hujan begitu lebat dan alat penyapu air di kaca mobil tidak terlalu bagus fungsinya, padahal baru dibeli dan dipasang (belakangan baru tahu bahwa cover plastiknya belum dibuka), disamping memang kondisi badan sudah begitu pegal-pegel, rencana bermalam di kota belopa, kabupaten luwu, dirubah menjadi di siwa kabupaten sidrap. Penunjuk waktu sudah menunjukkan jam 10 malam, kami pun berhenti di penginapan sederhana, yang kurang lebih 14 tahun yang lalu saya pun pernah menginap di tempat ini.
Penginapan sebenarnya berada di lantai 2, sedangkan di lantai bawah berfungsi sebagai rumah makan. karena yang terbuka di bagian bawah, jadi kami masuk ke rumah makan, dan mendapati seorang anak perempuan kecil yang duduk tersembunyi di balik lemari kaca berisi berbagai makanan dalam kemasan. kami pun menyampaikan salam dan bertanya tentang kamar untuk menginap. sang anak menyuruh kami ke atas, karena di atas ada bapaknya. Hal itu pun diiyakan oleh seorang ibu, yang rupanya adalah ibunya, yang datang ke ruangan itu. Mendapat kepastian itu kami pun melangkah ke lantai atas.
Benar saja, di lantai atas yang sudah terbuka pintunya ada orangtua yang dibilang Bapaknya di anak perempuan kecil. sang Bos yang saya temani dalam perjalanan melihat-lihat kamar yang akan kami pakai, eee...tidak lama anak perempuan kecil itu pun datang menemani kami melihat-lihat kamar! Setelah sang bos cocok dengan salah satu kamar, kami pun tanya tarif kamarnya. Yang lucu, ketika sang bapak menyebutkan angka, si anak kecil perempuan itu menukaskan dengan harga di bawahnya. saya jadi ketawa dibuatnya, sambil bercanda saya tanya sama bapaknya mana yang benar! (dalam hati pasti si anak yang benar, karena anak kecil apalagi spontan bukanlah kata-kata yang salah. Untuk Si bapak pun saya mengerti dengan menyebutkan angka yang dibantah sama anak kecil perempuannya he-he…..)
Setelah beres-beres di kamar, kami pun menuju kembali ke ruang bawah atau rumah makan untuk mengisi bagian jawa tengah istilah anak muda. Sesampainya di ruang makan, kembali kami bertemu dengan anak kecil perempuan itu, ketika ditanya menu makanan yang ada dengan lancar dia pun menyebutkannya satu per satu. Padahal di meja sebenarnya tersedia daftar menu yang siap sang ibu si anak kecil perempuan sajikan sebagai chef rumah makan itu.
Setelah memilih, kami pun duduk dan mengobrol dengan si anak kecil perempuan itu. Di situlah biodata agak lengkap terungkap he-he….. Anak kecil perempuan yang bersekolah lumayan jauh dari rumah ini dan harus naik bentor (beca dan motor) menuju sekolah adalah siswa kelas 5 naik ke kelas 6. Berumur 11 tahun, ternyata bernama Lala. Sewaktu menyebutkan namanya saya bercanda dengan irama lalalalalaaaa! Dia pun tertawa manis semanis teh manis yang dia sajikan sendiri. (Padahal yang saya pesan tidak pakai gula, alias Teh Panas Tawar! Dia hanya bilang ohhh…dan saya pun memakluminya).
Beberapa lama kami mengobrol, dengan pertanyaan-pertanyaan akan keinginan tahunya tentang kami, yang kami jawab semudah dan semengertinya sesuai dengan umurnya dan kadang disertai canda untuk memudahkan dia mengerti akan jawaban pertanyaannya, terdengar panggilan dari ibunya dari dalam. Lala pun pergi meninggalkan kami, saya pun sudah menduga bahwa makanan sudah selesai dimasak. Benar saja, Lala membawa makanan dalam nampan yang cukup besar sesuai pesanan untuk kami santap. Tapi perbincangan dengan Lala tidak berhenti ketika kami makan. Kami pun sebenarnya senang juga ditemani apalagi setelah lelah dan pegal menjalani perjalanan kurang lebih 7/8 jam.
Selesai makan, kami bertanya berapa yang harus dibayar. Yang surprise ternyata Lala, menyebutkan nilai makanan yang kami makan yang harus dibayar dikurangi kelebihan pembayaran kamar yang kami bayar ke Bapaknya Lala. Sang Bos pun membayar nilai yang disebutkan Lala, dan Lala menerima uang pembayaran itu. Saya pun candai Lala untuk segera menyetor uang tersebut ke Ibunya, saya bilang jangan sampai dibelanjakan untuk kebutuhan dia! Lala pun ketawa mendengar hal itu.
Hujan, masih mengiringi lelapnya tidur kami hingga pagi hari. Begitupun ketika kami bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan yang masih panjang. Lala yang kelihatan agak terlambat bangun sudah berdiri di pintu tanpa sepatah kata pun. Kami menolak tawaran minum teh atau kopi yang ditawarkan karena kami mau mengejar waktu, disela-sela itu saya tanya Lala mau jadi apa kalau sudah besar. Dengan mantap Lala menjawab Dokter! Wah…. Saya pun memberikan jempol untuknya.
Beberapa saat berjalan saya melewati puskesmas yang cukup megah. Saya menduga Lala terinspirasi oleh aktifitas yang berhubungan dengan Puskesmas ini, termasuk Dokter itu! OK, Lala, smoga engkau menjadi dokter yang engkau cita-citakan dan membangun desa mu menjadi masyarakat yang sehat jasmani dan rohani! amin
Kamis, 19 Juni 2014
Pecah kongsi gara-gara Pilpres
Lama kami tidak bertemu hingga acara training kemarin. Sewaktu sesi istirahat, kami sempat ngobrol ngaler-ngidul (sunda, artinya kesana kemari), sampai beliau tanya, "Pak, kita pilih siapa untuk pilpres?", agak kaget juga ditanya seperti itu. Untuk menghormatinya saya pun menjawab pertanyaan itu dengan diplomatis, "masih melihat-lihat, nantilah keputusannya di TPS" (he-he...kayak pak sultan yogya!). Tapi teman ini, seperti yang saya duga karena latar belakangnya, dia bilang,"klo saya pilih Jokowi. soalnya orangnya ....... (gini-gini dan gitu-gitu!)" saya pun hanya manggut-manggut tanpa pegang jenggot yang sedikit ini. dia pun masih melanjutkan bicaranya, "tapi suami saya, pilih Prabowo. katanya cocok untuk jadi pemimpin" sambil ketawa-ketiwi, mengiringi kekagetan saya! wong, gimana tidak kaget! saya sendiri tidak terlalu mengenal suaminya, tapi dari, sekali lagi, latar belakangnya saya menyangka bahwa kedua-duanya akan pilih jokowi....eh...ternyata suami istri beda!
Boleh jagi kasus seperti cerita yang saya alami akan banyak terjadi! suami istri, yang istilah basa sunda nya mah sudah sasumur dan sakasur (satu sumur dan satu kasur) ternyata untuk pastisipasi politik mempunyai pilihan masing-masing! apakah mereka ribut ketika proses menuju hari H, pasca hari H dan pasca penetapan Presiden terpilih. ya...mungkin saja, hanya semoga tidak sampai piring menjadi piring terbang dan pecah berantakan baik dalam arti sebenarnya maupun arti yang lebih luas!
Masya! Presiden yang terpilih enak-enak menikmati amanahnya, sang suami-istri menjadi pecah kongsi menjadi mantan suami dan mantan istri! hadeuh......hancurlah dunia!
Boleh jagi kasus seperti cerita yang saya alami akan banyak terjadi! suami istri, yang istilah basa sunda nya mah sudah sasumur dan sakasur (satu sumur dan satu kasur) ternyata untuk pastisipasi politik mempunyai pilihan masing-masing! apakah mereka ribut ketika proses menuju hari H, pasca hari H dan pasca penetapan Presiden terpilih. ya...mungkin saja, hanya semoga tidak sampai piring menjadi piring terbang dan pecah berantakan baik dalam arti sebenarnya maupun arti yang lebih luas!
Masya! Presiden yang terpilih enak-enak menikmati amanahnya, sang suami-istri menjadi pecah kongsi menjadi mantan suami dan mantan istri! hadeuh......hancurlah dunia!
Selasa, 10 Juni 2014
Membayangkan apa yang terjadi setelah Pilpres 2014
Bisa terbayang (coba bayangkan! loh...apaan! eh...iya yah!) nanti tanggal 9 Juli 2014, sore hari setelah quick count muncul, pasti muncul kehebohan di media sosial. Pendukung yang menang, bersorak gembira (gimana caranya, wong tulisan kok!) dan mengagungkan-agungkan jagoannya plus tentu menjelek-jelekkan orang yang disebrangnya (yang kalah maksudnye!). Yang kalah tapi mbandel, pasti tidak mau terima kekalahan itu, dan tetep mengagungkan jagoannya yang kalah itu! boleh jadi muncul pembelaan yang umumnya keluar dari orang yang kalah, curanglah, serangan fajarlah, money politic lah, sistemi lah, terstrukturlah, pake dukun lah...wueleehhhh macam-macam dah! Namun tidak sedikit juga yang mengakui kekalahan, namun sedikiiiitttttt....bisa dihitung dengan jari binatang kaki seribu!!! yoooo....kita nantikan sama2! (sudah bisa toh dibayangkan sekarang! aih kodong....)
Itu yang pertama, kedua kita bisa bayangkan ketika Capres pemenang sudah menjalankan roda pemerintahannya artinya sudah menjabat sebagai presiden Indonesia 2014-2019. Ketika Presiden terpilih mengeluarkan kebijakan-kebijakan, apalagi yang tidak populer, kemungkinan besar pendukung capres yang kalah akan mengatakan, "Peduli amat saya tidak memilih dia kok!" atau "Tuh! apa saya bilang, Jangan pilih dia" dan lain sebagainya seolah-olah dia berlepas diri dari apa yang sudah dilakukannya terutama sebagai warga negara!
Itu yang pertama, kedua kita bisa bayangkan ketika Capres pemenang sudah menjalankan roda pemerintahannya artinya sudah menjabat sebagai presiden Indonesia 2014-2019. Ketika Presiden terpilih mengeluarkan kebijakan-kebijakan, apalagi yang tidak populer, kemungkinan besar pendukung capres yang kalah akan mengatakan, "Peduli amat saya tidak memilih dia kok!" atau "Tuh! apa saya bilang, Jangan pilih dia" dan lain sebagainya seolah-olah dia berlepas diri dari apa yang sudah dilakukannya terutama sebagai warga negara!
Langganan:
Postingan (Atom)