Lala sang manager cilik.
Karena hujan begitu lebat dan alat penyapu air di kaca mobil tidak terlalu bagus fungsinya, padahal baru dibeli dan dipasang (belakangan baru tahu bahwa cover plastiknya belum dibuka), disamping memang kondisi badan sudah begitu pegal-pegel, rencana bermalam di kota belopa, kabupaten luwu, dirubah menjadi di siwa kabupaten sidrap. Penunjuk waktu sudah menunjukkan jam 10 malam, kami pun berhenti di penginapan sederhana, yang kurang lebih 14 tahun yang lalu saya pun pernah menginap di tempat ini.
Penginapan sebenarnya berada di lantai 2, sedangkan di lantai bawah berfungsi sebagai rumah makan. karena yang terbuka di bagian bawah, jadi kami masuk ke rumah makan, dan mendapati seorang anak perempuan kecil yang duduk tersembunyi di balik lemari kaca berisi berbagai makanan dalam kemasan. kami pun menyampaikan salam dan bertanya tentang kamar untuk menginap. sang anak menyuruh kami ke atas, karena di atas ada bapaknya. Hal itu pun diiyakan oleh seorang ibu, yang rupanya adalah ibunya, yang datang ke ruangan itu. Mendapat kepastian itu kami pun melangkah ke lantai atas.
Benar saja, di lantai atas yang sudah terbuka pintunya ada orangtua yang dibilang Bapaknya di anak perempuan kecil. sang Bos yang saya temani dalam perjalanan melihat-lihat kamar yang akan kami pakai, eee...tidak lama anak perempuan kecil itu pun datang menemani kami melihat-lihat kamar! Setelah sang bos cocok dengan salah satu kamar, kami pun tanya tarif kamarnya. Yang lucu, ketika sang bapak menyebutkan angka, si anak kecil perempuan itu menukaskan dengan harga di bawahnya. saya jadi ketawa dibuatnya, sambil bercanda saya tanya sama bapaknya mana yang benar! (dalam hati pasti si anak yang benar, karena anak kecil apalagi spontan bukanlah kata-kata yang salah. Untuk Si bapak pun saya mengerti dengan menyebutkan angka yang dibantah sama anak kecil perempuannya he-he…..)
Setelah beres-beres di kamar, kami pun menuju kembali ke ruang bawah atau rumah makan untuk mengisi bagian jawa tengah istilah anak muda. Sesampainya di ruang makan, kembali kami bertemu dengan anak kecil perempuan itu, ketika ditanya menu makanan yang ada dengan lancar dia pun menyebutkannya satu per satu. Padahal di meja sebenarnya tersedia daftar menu yang siap sang ibu si anak kecil perempuan sajikan sebagai chef rumah makan itu.
Setelah memilih, kami pun duduk dan mengobrol dengan si anak kecil perempuan itu. Di situlah biodata agak lengkap terungkap he-he….. Anak kecil perempuan yang bersekolah lumayan jauh dari rumah ini dan harus naik bentor (beca dan motor) menuju sekolah adalah siswa kelas 5 naik ke kelas 6. Berumur 11 tahun, ternyata bernama Lala. Sewaktu menyebutkan namanya saya bercanda dengan irama lalalalalaaaa! Dia pun tertawa manis semanis teh manis yang dia sajikan sendiri. (Padahal yang saya pesan tidak pakai gula, alias Teh Panas Tawar! Dia hanya bilang ohhh…dan saya pun memakluminya).
Beberapa lama kami mengobrol, dengan pertanyaan-pertanyaan akan keinginan tahunya tentang kami, yang kami jawab semudah dan semengertinya sesuai dengan umurnya dan kadang disertai canda untuk memudahkan dia mengerti akan jawaban pertanyaannya, terdengar panggilan dari ibunya dari dalam. Lala pun pergi meninggalkan kami, saya pun sudah menduga bahwa makanan sudah selesai dimasak. Benar saja, Lala membawa makanan dalam nampan yang cukup besar sesuai pesanan untuk kami santap. Tapi perbincangan dengan Lala tidak berhenti ketika kami makan. Kami pun sebenarnya senang juga ditemani apalagi setelah lelah dan pegal menjalani perjalanan kurang lebih 7/8 jam.
Selesai makan, kami bertanya berapa yang harus dibayar. Yang surprise ternyata Lala, menyebutkan nilai makanan yang kami makan yang harus dibayar dikurangi kelebihan pembayaran kamar yang kami bayar ke Bapaknya Lala. Sang Bos pun membayar nilai yang disebutkan Lala, dan Lala menerima uang pembayaran itu. Saya pun candai Lala untuk segera menyetor uang tersebut ke Ibunya, saya bilang jangan sampai dibelanjakan untuk kebutuhan dia! Lala pun ketawa mendengar hal itu.
Hujan, masih mengiringi lelapnya tidur kami hingga pagi hari. Begitupun ketika kami bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan yang masih panjang. Lala yang kelihatan agak terlambat bangun sudah berdiri di pintu tanpa sepatah kata pun. Kami menolak tawaran minum teh atau kopi yang ditawarkan karena kami mau mengejar waktu, disela-sela itu saya tanya Lala mau jadi apa kalau sudah besar. Dengan mantap Lala menjawab Dokter! Wah…. Saya pun memberikan jempol untuknya.
Beberapa saat berjalan saya melewati puskesmas yang cukup megah. Saya menduga Lala terinspirasi oleh aktifitas yang berhubungan dengan Puskesmas ini, termasuk Dokter itu! OK, Lala, smoga engkau menjadi dokter yang engkau cita-citakan dan membangun desa mu menjadi masyarakat yang sehat jasmani dan rohani! amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar