Senin kemarin adalah jadwal saya ke pulau. Seperti biasa sebelum menyebrang dengan jolloro, kami biasa singgah dan istirahat di rumah H. N, yang kadang belakang rumahnya dijadikan dermaga untuk sebagaian Jolloro, yang akan menjual rumput laut atau udang hasil budidaya masyarakat pulau.
Oh iya untuk diketahui, H. N ini adalah seorang pengusaha pengumpul hasil laut terutama rumput laut dan udang. Dulunya sebelum tinggal di daratan beliau adalah salah satu penduduk pulau juga. Selama kenal dengan beliau, baik dalam melakukan perjalanan bersama atau dalam pergaulan sehari-hari, ketika di rumahnya maupun ketika berada di pulau, beliau adalah seorang yang tidak pernah meninggalkan sholat di awal waktu dan selalu di masjid. (Saya tidak tahu kalau ketika saya tidak bersama beliau). Dalam bertutur kata dan hubungannya dengan sesama baik keluarga, karyawannya, kolega maupun kami sebagai teman dan tamu baginya, sangatlah luar biasa. sehingga saya menilai bahwa kepribadiannya yang tercampur dengan keyakinan beragama yang demikian merupakan sosok yang paripurna sesuai kapasitasnya.
kami sedang duduk-duduk di ruang tamu, H. N lewat didepan kami dengan senyumannya dan kemudian berhenti sejenak untuk selanjutnya menghadapkan badannya menjurus ke arah saya. Tanpa terduga beliau bertanya, "Kapan kita (kita untuk masyarakat sulawesi selatan adalah panggilan yang sopan untuk anda/kamu) mulai puasa?" Cukup kaget juga ditanya seperti itu. Sebenarnya saya untuk tahun ini menghindari untuk berbicara panjang lebar apalagi sifatnya berdebat mengenai awal bulan puasa, dimana untuk tahun ini ada yang puasa sabtu dan ada yang puasa hari minggu. Hingga sebelum H. N itu bertanya terhitung hanya satu dua orang teman yang bertanya tentang hal itu. Satu teman bahkan bertanya hanya sepertinya untuk meyakinannya diri (walau sudah yakin sebenarnya), karena ketika saya tanya balik dia pun menyatakan sama.
Akhirnya saya pun menjawab dengan ringkas, "Sabtu!" tanpa bertanya balik karena saya tidak mau terjadi perdebatan yang bertele-tele! Tapi respon H. N atas jawaban saya sungguh diluar dugaan saya sendiri. Beliau bilang, "Yang benar hari Sabtu!", "Kenapa Haji?" saya pun akhirnya bertanya. Jawabnya, "Saya puasa hari Minggu, tapi bulan sudah tinggi sekali!" Untuk orang-orang yang biasa berkecimpung di laut, dan mungkin juga untuk orang-orang yang berpikiran seperti mereka, mereka biasa melihat kondisi panorama langit pada malam hari sebagai petunjuk untuk kehidupan sehari-hari mereka. Dulu ketika ramai-ramainya ribut perbedaan penentuan awal bulan, ada tetangga yang menyatakan bahwa saya pernah menjadi nelayan selama 7 tahun, dan tahu mana sudah tanggal 1 dan tidak, walau bulan tidak kelihatan (he-he....huebat banget! Pemerintah saja setengah mati menentukannya, maksudnya harus pakai alat segala!).
Untung setelah H. N menyatakan seperti itu beliau pergi meninggalkan ruang tamu. Huff! Saya menyadari kondisi H. N sebagai seorang yang beragama dengan aktifitas ibadahnya yang tidak sesuai dengan keyakinannya. Tetapi rupanya rasa seperti penyesalan yang dialami H. N, dialami juga sebagian masyarakat pulau dimana saya ikut shalat taraweh berjamaah di masjid setempat. Penceramah menyampaikan di awal ceramah bahwa kita tidak perlu risau karena penentuan puasa hari Minggu adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah! Atas penyampaian penceramah itu, iseng-iseng saya tanya teman di pulau ketika keluar dari masjid setelah selesai shalat taraweh, "Kenapa Penceramah menyampaikan seperti itu. Bulan kelihatan sudah tinggi ya!" Teman itu pun mengiyakan pertanyaan saya. Saya pun berolok-olok dengan dia, "kalau saya puasa sabtu memang!" Dia pun menukas olok-olok saya dengan mengatakan, "kalau begitu pak Furqon Muhammadyah" seraya tertawa renyah! Sambil tertawa tetapi mata tetap awas ke langkah kaki sebagai pijakan karena pengaruh gelapnya jalan setapak yang kami lalui (maklum di kampuang) saya bilang, "tidak, tidak!"
Lucu juga, ada asumsi yang mengambil puasa pertama hari sabtu dikatakan adalah orang muhammadyah. Saya berulang kali menyatakan bahwa tidak semua begitu, saya katakan bahwa saya mengambil sikap karena kayakinan akan metode yang dipakai serta gabungan dengan rukyah global! Hal itu pula yang saya jelaskan ke anak saya ketika hari jumat malam bertanya ke saya, karena ada temannya yang bilang bahwa hilal belum nampak ..... di Indonesia! Saya jelaskan tentang bagaimana perputaran bumi, bulan dan matahari sebagai petunjuk bagi manusia. dan bagaimana tidk eloknya ketika ada orang yang beriman yang posisinya di sebelah barat kita yang berpuasa duluan dari kita padahal mereka melihat hilal di bagian lain di dunia selain indonesia!
Seperti judul, bahwa tulisan ini bukan untuk mengungkit benar dan salah! Yang patut diajukan adalah bahwa ketika kita mengambil keputusan tahu akan dasarnya tidak hanya ikut-ikutan yang akan berakibat penyesalan. Ada seseorang yang mengatakan kepada saya, yang saya juga tidak tahu namanya ketika sholat dhuhur di masjid di daerah antang selesai, hendaklah kita menjadi seorang yang mengikuti tetapi tahu akan dasar hukumnya (ittiba) jangan hanya mengikuti tanpa tahu dasar hukumnya (taklid) walau mungkin resiko kesalahan akan terpautkan kepada pemberi dasar hukum. Artinya dalam praktek puasa kemarin, yang mengambil ketetapan apakah sabtu atau minggu hendaknya pribadi masing-masing tahu akan dasar hukumnya. Smoga kita semua memperoleh keberkahan di bulan Ramadhan ini! Dikatakan, "Jika orang tahu akan kehebatan bulan Ramadhan, tentu dia akan bermohon supaya semua bulan dijalan seperti bulan Ramadhan"
L
Tidak ada komentar:
Posting Komentar