Saya sejak masih kecil (SD) adalah pengemar dan pelaku olah raga sepak bola, walau tidak sampai menjadi pemain profesional tapi pernahlah sedikit waktu mencicipi berlatih di klub resmi di bawah PERSIB (Bandung). Karena rumah dekat dengan daerah pesawahan kadang kita main bola (bola plastik atau pun bola kulit) di pesawahan yang sedang pengeringan, yang seru kadang kalau sedang musim hujan, kita main bola pun sambil hujan-hujanan.
Saya masih ingat masa-masa kecil itu dan hubungan dengan Piala Dunia. Hanya saya lupa lagi, kalau tidak tahun 1972, ya tahun setelah itu bisa 1976, atau 1982. Karena Piala Dunia itu juga hampir sama dengan Piala Dunia 2014 kemarin di Brazil, karena waktunya bersamaan dengan waktu ibadah puasa. Kami bisa menonton pertandingan Piala Dunia pada jam-jam sahur kami. Berati kalau begitu tempat pelaksanaannya di negara di bagian Amerika. Saya tidak terlalu hafal atau ingat, berarti kalau tidak di Brazil ya di Meksiko. Harus search lagi di mbah google he-he....
Terlepas dari itu semua, sejak kecil memang saya selalu memfavoritkan Jerman sebagai juara di setiap Piala Dunia. Boleh jadi karena pada waktu itu, televisi -yang ada hanya TVRI- selalu menyiarkan klub-klub Jerman (masih Jerman Barat) di acara sepakbola baik secara langsung maupun tidak langsung. Saya masih ingat bagaimana si Kevin Keegan (biarpun orang Inggris) selalu dieluk-elukan penonton pendukung Hamburg SV ketika dia main, dengan yel-yel Kevin Keegan Ha-ha-ha, Kevin Keegan Ha-ha-ha..... Hamburg SV dengan bintangnya Kevin Keegan pun termasuk klub yang disegani waktu itu, tidak seperti sekarang, banyak terseok-seoknya kalah sama Bayer Munchen dan Borusia Dormunt, serta klub yang lainnya. Di samping itu, memang Jerman dikenal sebagai jagoannya kompetisi, dengan empat bintang juara saat ini dan prestasi di setiap kejuaraan Dunia menunjukkan Jerman memang jagoannya kompetisi.
Tetapi kalau kita melihat perjalanan bintang yang terakhir diraih Jerman di Brazil, bukan suatu yang datang tiba-tiba, tetapi diraih dengan perjalanan yang panjang dimulai ketika prestasi Jerman anjlok di Piala Dunia 2002, dimana Jerman tidak lolos di fase grup dengan nilai yang tidak begitu memuaskan. Sejak itu, semua dibenahi oleh yang berkepentingan di Jerman sana, mulai adanya akademi untuk setiap klub, bahkan saya dengar juga adanya kurikulum di sekolah mengenai sepakbola yang lebih mantaf. Ya, mereka lakukan itu, untuk sebuah prestasi negara yang akan mengangkat negara itu sendiri ke kancah persaingan dunia. Walau di bidang olah raga, tapi semua negara akan mengangkat tangan akan keberhasilan sebuah negara karena prestasi di cabang olah raga. Kita lihat, Manny Pacquio "Pacman", petinju legendaris dari Filiphina. Walaupun Filiphina negara kecil dan termasuk negara berkembang tapi dengan prestasi Manny Pacqio "Pacman", Filiphina pun menjadi terkenal. Banyak lagi contoh lain yang bisa kita angkat.
Indonesia, sebagai negara dan bangsa ku! sebenarnya punya juga cabang olah raga yang mengangkat harum nama Indonesia, sepeti Bulutangkis/badminton, dulu ada juga permainan kartu Bridge, pernah juga catur dengan Utut adianto-nya. Tapi semuanya sekarang seolah tenggelam ditelan prestasi negara lain yang lebih oke! Siapa yang tidak tahu dengan nama-nama tenar di dunia bulutangkis dunia, seperti Rudy Hartono, Liem Swie King, Susi Susanti, Ivana Lie dan lain-lain. tapi sekarang seperti tidak ada lagi juara-juara yang ditakuti dan disegani lawan. Dulu, ketika mereka berjaya di dunia, masyarakat seperti menjadikan bulutangkis seperti budaya, apapun dipakai untuk bermain bukutangkis, entah piring seng, raket dari papan, net dari jemuran atau pagar rumah, boleh jadi ketika itu bisa digambarkan seperti masyarakat brazil dengan oleh raga sepakbolanya, dimana-mana orang main bola, di Indonesia dimana-mana orang main bulutangkis. anak-anak kecil - orang dewasa, laki-perempuan, pegawai-pengusaha pokoke hampir semua kalangan.
Tetapi sepertinya kita terlena dengan prestasi yang ada, regenarasi terlupakan. Dengan berubahnya zaman, pembinaan hanya terfokus pada tempat-tempat tertentu. Dan hanya dilakukan oleh orang-orang (apakah pribadi atau perusahaan) yang peduli dengan bulutangkis saja. sehingga yang saya rasakan di masyarakat sudah tidak ada lagi kegembiraan untuk memainkan permainan itu. Padahal Indoensia dengan jumlah masyarakat yang luar biasa banyaknya dan tersebar di berbagai pulau, dengan tingkat usia sekolah yang begitu banyak, ini merupakan suatu potensi untuk mengembalikan pamor indonesia di dunia bulutangkis. Pemerintah bisa memasukan program bulutangkis ke kurikulum sekolah, beri bantuan untuk membuat lapangan berupa aula dan bantuan kock untuk meringankan siswa yang menggemari olah raga itu. Pemerintah terutama di daerah juga bisa lebih sering mengadakan pertandingan apakah antar sekolah, antar umur berjenjang. Di rangsang juga untuk supaya klub-klub bulutangkis kembali menjamur di masyarakat. Sehingga diharapkan dari itu muncul bibit-bibit baru pemain bulu tangkis yang banyak tidak hanya mengandal sosok-sosok itu saja.
Terakhir, kita ajak kembali perusahaan-perusahaan besar melalui program peduli kepada masyarakat dengan manyalurkan dana bagi peningkatan olah raga bulu tangkis ini. Sehingga tidak hanya mengandalkan perusahaan-perusahaan yang sudah ada yang memang peduli terhadap bulutangkis. Kalau perlu Pemerintah memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan yang peduli terhadap pengembangan olah raga khususnya bulutangkis, sehingga menjadi gairah bagi pengusaha untuk membantu kembalinya bulutangkis menjadi raja di dunia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar