Kamis, 28 Mei 2015

Puasa sebagai budaya?

Bulan Ramadhan akan segera tiba yang berarti ibadah puasa kembali mewarnai kehidupan kita selama sebulan. Saya mencoba memutar proyektor ke belakang. Rupanya ada tulisan yang belum terposting, walau sudah begitu lama (tahun 2011, agustus). Tidak ada salahnya saya posting saat ini, semoga masih relevan dengan kondisi sekarang.

Puasa sebagai budaya?

August 4, 2011 at 11:17pm

Waktu sahur kemarin, menjelang masuk waktu subuh, saya masih dalam proses menghabiskan teh tawar yang ada di gelas, teman datang untuk mengisi air minum dari dispenser di gelas yang dia bawa, tetapi tangan yang sebelah kirinya memegang hp dalam posisi di telinganya. Rupanya dia sementara berhp ria dengan seseorang disebrang sana. Terdengar dia bicara :"Mau shalat subuh di masjid ngak?" Mendengar hal itu, karena matanya juga melihat ke saya sambil tersenyum, saya pun candai dia, apalagi saya berfikir bahwa yang dia telepon adalah seorang perempuan, "wah...janjian ketemu di mesjid ya?". Teman saya mengelak dengan mengatakan bahwa teman perempuannya berada jauh dari tempatnya sekarang. mendengar dia bilang begitu saya timpali sambil tertawa:" ya sudah ketemu secara rohani saja di masjid yang berlainan" Dia pun ikut tertawa mendengar saya bilang begitu!

Saya jadi berfikir, dalam beberapa hari ini saya diperlihatkan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan puasa terutama yang ada sangkut pautnya dengan anak-anak muda. Di hari pertama sahur, dalam perjalanan menuju masjid terdengar dari kejauhan suara motor yang menderu-deru, tidak hanya satu, kedengarannya mereka sedang berpacu satu sama lainnya. Dua hari berikutnya ketika saya menuju ke lokasi kerja, saya melewati beberapa masjid mulai yang ada di perkotaan maupun yang ada di pedesaan yang sedang melaksanakan shalat tarawih. Rata-rata masjid penuh dengan jamaah tarawih, saya fikir maklum masih di awal-awal ramadhan. Tetapi yang menarik juga bahwa sementara orang-orang shalat tarawih, di jalan juga orang ramai berseliweran dengan memakai pakaian untuk shalat seperti sarung dan kopiah/songkok untuk laki-laki dan mukena untuk perempuan dan kebanyakan anak-anak muda, semakin masuk ke pedesaan yang berseliweran pun masih ada, hanya persentsenya tidak sebanyak di kota. Hingga saya sampai di jembatan di daerah pertambakan dimana rumah-rumah penduduk sudah tidak ada, di sana saya temukan sepasang muda-mudi duduk berduaan di atas motor dengan kondisi masih pakai mukena dan kopiah/songkok di kepala anak muda. Saya tidak tahu apa yang diperbuat di tempat yang sepi dan gelap dengan pakaian seperti itu, di atas motor lagi, apakah sedang melaksanakan shalat tarawih berduaan di atas motor? wah...pertanyaan konyol karena saya hanya melewati saja tidak terlalu memperhatikan secara detail.

Kejadian yang terakhir tadi, mengingatkan saya pada kejadian tahun lalu di bulan puasa juga. Ketika saya pulang dari mengantar kiriman, dan menuju kembali ke lokasi kerja waktu sudah menunjukkan tengah malam menuju ke arah dini hari, tetapi alangkah kagetnya saya ketika memasuki areal pemukiman di suatu desa saya bertemu dengan sekelompok anak muda, klo tidak salah ada 4 orang yang salah satunya perempuan, yang masih memakai mukena, yang sedang duduk2 di pinggir jalan. Ketika saya melewati mereka yang perempuan berusaha menuju wajahnya dengan lembaran mukena dari sorot cahaya lampu. Saya jadi bertanya-tanya loh kok sudah tengah malam begini masih ada anak-anak muda yang berkeliaran apalagi ada perempuan salah satunya. Untuk apa juga anak-anak muda ini duduk-duduk di pinggir jalan di pinggiran desa padahal sudah tengah malam? Apa orangtuanya tidak mencari keberadaan anaknya, padahal sudah lewat tengah malam? berkecamuk pertanyaan lainnya muncul dikepala yang kecil ini?

Usia muda sudah saya jalani beberapa dekade ke belakang, dengan kondisi kebudayaan yang tidak sehebat sekarang ini, kebiasaan di bulan puasa memang menjadi sesuatu yang punya ciri tersendiri, istilah ngabuburit, shalat tarawih bersama hingga jalan-jalan setelah sahur merupakan trend anak-anak muda waktu itu. Sekarang, diperhebat lagi dengan sokongan media eletronik yang bersifat ekonomi kapitalis menampilkan para artis dalam acara ngabuburit, tersedianya mall-mall di penjuru kota, dukungan alat transpostasi setidaknya roda dua yang mengantar anak-anak muda untuk mobilisasi bahkan hingga shalat tarawih yang jauh dari rumah dan tambah lagi menjadikan sebuah hiburan dengan acara kebut-kebutan di waktu pagi sehabis sahur. Belum lagi ekses-ekses lainnya yang sifatnya negatif dari semua kejadian di atas, yang kadang tidak terfikirkan oleh kita semua sebelumnya. mulai dari kecelakaan lalu lintas hingga pergaulan bebas di antara anak-anak muda.

Kejadian-kejadian di atas nampaknya menjadikan puasa dan segala atributnya bukan sebagai suatu perintah dari Allah swt, tapi hanya merupakan sebuah kebiasaan dan rutinitas yang tidak ada maknanya. Peran orangtua atau keluarga menjadi sesuatu yang sangat penting ketika hal ini terjadi atau bahkan sesuatu untuk dihindari. Saya jadi berharap semoga hal-hal seperti di atas tidak terjadi dan dijauhkan kepada 1 putra dan 3 putri saya yang beranjak remaja. Semoga kami sebagai orang tua mampu untuk mengarahkan kepada hal-hal yang sesuai tuntunan-Nya. Rabbi Habli minash Sholihin. (Yaa…Allah, berikanlah/jadikanlah anak-anak kami termasuk anak-anak yang sholeh) amin....

Tidak ada komentar: