Jumat, 10 Juni 2016

Siasat Hidup Wanita Hebat

(Status Dini Puspasari II shared Didik Darmanto's post. di fb)

Dua pekan sebelum Ramadhan, saya berkesempatan pulang kampung seorang diri. Selalu ada nostalgia setiap kali saya menengok rumah, menjenguk orangtua.
Setiap kali memandang wajah mereka, saya seperti membaca novel kehidupan yang penuh hikmah.
Trenyuh hati saya melihat bapak saya yang dalam usia senjanya masih berusaha kemana-mana naik motor seorang diri. Begitu pun ibu saya, yang sekitar setengah tahun ini sakit dan hanya bisa terbaring di dipan.
Khusus untuk ibu, saya merasa seperti menemui orang yang selalu menunggu saya. Padahal saat itu, ingat nama saya pun tidak. Ya, ibu saya lupa nama saya, anak bungsunya ini. Tapi dari matanya saya tahu rindunya pada saya.
Kini ibu saya sudah tidak sekuat dulu. Tidak selincah dulu. Sosoknya mungil, berambut keriting, dengan gigi tersusun rapi, dan sampai sekarang pun belum ada yang ompong, apalagi berlubang. Konon dulu jadi gadis pujaan desa.
Saya masih ingat, bagaimana ibu saya menghabiskan waktunya di pawon. Memasak dan mengurus keenam anaknya.
Sementara bapak saya hanya PNS rendahan, gajinya tidak akan pernah cukup jika harus dibagi-bagi di antara kami berenam. Apalagi kami tidak hanya butuh makan, tapi juga harus sekolah.
Menurut cerita mereka berdua, awal pernikahan sangat menderita. Bapak saya dipindah tugas ke luar daerah, jauh dari rumah. Pada waktu itu, tahun 60an, gaji PNS seret karena kondisi keuangan negara yang belum bagus. Kadang dapat uang, kadang hanya beras berkutu, dan kadang sama sekali tidak menerima gaji.
Tapi ibu saya selalu punya siasat, yang membuat gaji suaminya cukup.
Ibu saya punya menu-menu andalan yang membuat telor 2 biji bisa cukup untuk lauk sekeluarga, menyulap dedaunan di sekitar rumah menjadi sayuran yang super lezat, dan strategi hidup hemat lainnya.
Lebih dari sekadar itu, ibu saya sudah biasa pergi ke pasar tanpa membawa uang. Bekalnya beberapa butir telor ayam kampung yang dipungut dari kandang, beberapa ikat daun singkong yang dipetik dari kebun belakang rumah, dan beberapa liter beras hasil panen sendiri.
Sepulang pasar ibu saya bawa seragam Pramuka, buku tulis, pensil, penghapus, dan tentunya lentho dan jadah goreng oleh-oleh untuk anaknya.
Lama saya coba memahami strategi survival yang dilakoni ibu saya. Mungkin kalau dalam ilmu Sosiologi disebut dengan peasant, yaitu semacam cara hidup bersahaja ala masyarakat pedesaan dengan tradisi subsistennya. Mereka mengandalkan sumber daya yang ada di sekitar rumah untuk mencukupi kebutuhan hidup. Dan sependek yang saya pahami, wanita memiliki peran penting bagi keberlangsungan masyarakat subsisten ini.
Zaman boleh berubah, namun pandangan hidup bisa sama. Kalau dulu ibu saya mensiasati gaji suaminya dengan memberdayakan yang ada di sekitar rumah: berkebun dan berternak. Kini, para ibu-ibu modern pun bisa mensiasati gaji suaminya dengan cara-cara modern pula, tanpa perlu jauh-jauh dari rumah. Semisal berdagang online lewat facebook, bukalapak, tokopedia, dll.
Prinsip ibu saya dalam hidupnya sangat sederhana. Ngabekti marang bojo, open marang anak (berbakti pada suami dan sepenuh hati mengurus anak), itu saja. Dan hanya dari prinsip sederhana itu juga, saya melihat kehebatan ibu saya, dan ibu-ibu di luar sana. Mereka selalu punya cara membuat gaji suaminya cukup untuk hidup.
Maka tidak heran, banyak keluarga yang sepertinya cuma punya satu pintu penghasilan, kok bisa beli rumah, punya tanah, anaknya sekolah dan hidup gemah ripah. Bagaimana caranya? Ya dengan siasat super dari keberadaan wanita super di dalamnya.
Tapi zaman tentu bergulir. Wanita desa, tentu tidak bisa disamakan dengan wanita kota. Dulu ibu-ibu digoda oleh kridit panci murahan, sekarang godaannya sudah kridit mobil dan apartemen. Apakah dengan begini si wanita jadi hilang kekuatannya? Tidak juga. Jika bisa menahan diri dan tetap fokus pada rumahtangganya, itulah kekuatan wanita sebenarnya.
Episode pulang kampung kemarin, dan kontemplasi sesudahnya, semakin menyadarkan saya bahwa kekuatan saya sebagai suami masih berada di level bawah dibandingkan kaum istri.
Saya tidak melahirkan, tidak perlu multitasking kesana kemari, tidak perlu pusing dan repot ngecakke gaji suami yang entah cukup entah tidak, tapi harus terbagi untuk semua anggota keluarga secara adil dan merata itu.
Wanita, apapun pilihan hidupnya, tertakdir kuat dan pandai mengatur uang. Jika ada yang akhirnya setelah berumahtangga kok jadi terpuruk dan bangkrut, jangan serta merta salahkan wanitanya. Tapi lihat juga, siapa di sekelilingnya, apa yang dia tonton, dan kepada siapa ia curhat...
Selamat beribadah,
Didik Darmanto

========

Tidak ada komentar: