setelah semuanya terselesaikan pada kasus pembredean beberapa situs islam, ternyata ada yang merasa tidak puas. yaaahhh...susah juga kalau mau memuaskan semua orang terutama orang-orang yang selama ini "terdzolimi" oleh situs-situs tersebut.
setelah saya baca, saya berfikir alangkah baiknya saya share supaya cakupan informasinya menjadi lebih luas, dan orang pun bisa memberikan masukan atas status di atas. sehingga setidaknya apakah yang dilakukan pemerintah atas kasus pembredelan itu sudah selesai dan sudah sepantasnya dalam penanganannya atau seperti status ibu Dina yulianti sulaiman sepertinya pemerintah dalam penyelesaian kasus itu karena ada tekanan dari masyarakat, tidak kepada aturan yang ada, sehingga rasa haus dan dahaga ibu dina (dan konco-konconya) ini bisa terselesaikan.
hanya untuk saya sendiri, membaca status bu dina ini, meninggalkan catatan di kertas lusuh saya.
(1) siapa bu dina y sulaiman ini? ini menjadi penting karena kita akan tahu pemikirannya sesuai dengan kayakinannya.
(2) kita sampai sekarang kadang belum sepakat dengan istilah-istilah yang biasa kita pakai, seperti : teroris, radikal, jihad bahkan kata kunci yaitu Islam dan syiah, apakah syiah itu islam misalnya. (ini mah misalnya, karena sampai sekarang orang masih ribut dengan istilah itu)
(3) apakah kondisi keindonesiaan seperti yang distatusnya ibu dina bisa juga diterapkan dalam kondisi keglobalan.
Nah, silahkan barangkali ada yang mau sumbang saran? kalau tidak ada yaaa syukur, berarti status bu dina ini hanya sebagai teman sarapan di waktu pagi hari. kalau ada yaaa.... syukur, berarti sumbang sarannya meramaikan khasanah cuitan di medsos!! monggo
======
Dina Yoelianti Sulaeman
KEBEBASAN
Saat pemerintah (Menkominfo) membredel beberapa situs radikal berlabel Islam (atas rekomendasi BNPT), para pendukung situs-situs itu langsung berisik marah-marah, menyebut “Islam diberangus”. Karena militansi mereka yang tinggi di medsos, hanya dalam semalam, tagar KembalikanMediaIslam jadi trending topic.
Dalam sebuah seminar, saya pernah tanya langsung kepada seorang staf ahli Kominfo, kenapa setelah situs-situs itu dibredel, lalu dibuka lagi? Jawabannya, karena waktu itu yang protes banyak banget. Padahal Kominfo hanya berstatus pelaksana rekomendasi dari BNPT.
Dan saya amati di medsos, mereka yang protes itu –anehnya- termasuk juga orang-orang liberal pendukung kebebasan. Mereka bilang, “Saya sih tidak setuju pada media-media radikal Islam itu, tapi tindakan pemerintah membredel itu jelas salah, bertentangan dengan kebebasan bersuara.”
Yaelah, kebebasan nenek lu *Ahok-mode-on* Situ gak tau ya, bahwa di negara simbahnya kebebasan pun, Perancis, tetap ada aturan pembatasan berpendapat? Orang atau media yang berani menyuarakan kritik pada Holocaust akan diadili dan dipenjara (salah satu korbannya adalah penulis buku The Founding Myths of Modern Israel, Roger Garaudy). Terlepas setuju atau tidak pada tindakan Perancis yang memberhalakan Holocaust ini (sehingga tidak boleh dikritisi), poinnya adalah di sana pun ada pembatasan, sesuai dengan prinsip yang mereka yakini. Kita bangsa Indonesia, memiliki dasar negara Pancasila, salah satu silanya: Persatuan Indonesia. Lha kalau ini dilanggar, masa tidak ada tindakan hukum, atas alasan “kebebasan berpendapat”? Antara “berpendapat” dengan “menghasut” itu beda kan?!
Kasus Tolikara, kembali memberikan bukti bahwa keberadaan situs-situs radikal sangat berbahaya. Sebagian konten situs-situs itu memang baik-baik saja dan Islami. Tapi, ada hal fundamental yang selalu mereka suarakan: kebencian pada ‘the other’. Dalam menganalisis konflik, selalu perspektif kebencian yang mereka pakai. Inilah yang sering luput dari pandangan banyak para pembela kebebasan itu.
Perhatikan foto SS situs Voa-Islam ini. Penyelidikan pihak berwenang padahal belum tuntas, tapi mereka sudah menyebut “TERORIS KRISTEN membakar masjid, membubarkan paksa sholat Id, dan melarang muslimah mengenakan jilbab”.
Di berita lain, mereka menyebut ISIS sebagai “mujahidin”. Dengan terang-terangan mereka menulis berita “Mujahidin ISIS Hancurkan 2 Tempat Keagamaan Syiah di Mosul”. Bagi mereka ini, Syiah dianggap kafir, jadi sah-sah saja dibunuh atau ‘tempat keagamaan’-nya dibom. Padahal, “tempat keagamaan” yang dimaksud di berita itu adalah masjid atau makam-makam para wali yang umumnya di Irak, Suriah, atau Iran, dijadikan masjid juga. Jadi, mengebom masjid kalau dilakukan oleh “mujahidin”, bukan terorisme, tapi jihad, bro!
Lebih absurd lagi, sementara media-media radikal dan para suporter mereka teriak-teriak jihad lawan Kristen pasca kejadian Tolikara, di hari yang sama (hari Idul Fitri) ISIS melakukan bom bunuh diri di Diyala, Irak dan menewaskan 100 Muslim. Apa mereka disebut teroris? Tidak, karena “target kami adalah kaum Syiah” [kata jubir ISIS melalui Twitter].
Sekedar info, minimalnya tahun 2015 ini para “mujahidin” mengebom 3 gereja: 25 Feb dan 5 April di Hasakah (Suriah), 9 Juli di Mosul (Irak). Dan mereka bukan teroris dong, karena yang dibom kan “tempat keagamaan kaum kafir” [ini kalimat satire ya, kuatir ada yang gagal paham].
Nah, media-media yang kayak gini, apa masih juga harus dibiarkan atas nama kebebasan?
[Terus-terang, saya tidak setuju dengan tindakan pemerintah yang HANYA membredel. Yang seharusnya juga dilakukan adalah mengadili para pengelola situsnya, supaya jelas kesalahan mereka apa, dan diberi hukuman sesuai UU. Sekedar dibredel mah ga ngefek, dalam sekejap mereka bisa bikin situs baru.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar