Dr. Utsman bin Muhammad al-Khamis, mengupas Hadits al-Ghadir dalam bukunya : Inilah Faktanya. Meluruskan sejarah Umat islam sejak wafat Nabi sae hingga terbunuhny al-Husain ra.:
Dari Zaid bin Arqam ra, ia menceritakan, “Suatu hari, Rasulullah saw berdiri menyampaikan pidato di tengah-tengah kami di sebuah Sungai kecil bernama Khum yang terletak di antara Mekkah dan Madinah. Beliau memanjatkan pujian dan sanjungan kepada Allah swt, member nasihat dan memperingatkan kami. Selanjutnya, beliau bersabda, “Ketahuilah, wahai manusia! Sesungguhnya aku manusia biasa seperti kalian. Tidak lama lagi utusan Rabbku (Malaikal Maut) akan datang, dan aku akan memenuhi panggilan (kematian) itu. Aku tinggalkan kepada kalian dua hal yang berharga. Yang pertama adalah Kitabullah (Al-Quran); di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Ambil dan berpegang teguhlah kepada Kitabullah ini.” Beliau mendorong dan memotivasi kami agar berpegang teguh kepadanya. Setelah itu, beliau bersabda, “Dan (yang kedua adalah) Ahlul Bait (keluarga)ku. Aku mengingatkan kalian untuk bertaqwa kepada Allah (dengan berbuat baik) terhadap keluargaku, Aku mengingatkan kalian untuk bertaqwa kepada Allah (dengan berbuat baik) terhadap keluargaku, Aku mengingatkan kalian untuk bertaqwa kepada Allah (dengan berbuat baik) terhadap keluargaku.”
Lalu Husain bin Saburah bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Wahai Zaid, siapakah Ahlul Bait beliau? Apakah istri-istri beliau termasuk Ahlul Bait?” Zaid menjawab, “Ya, Istri-istri beliau termasuk Ahlul Bait. Akan tetapi, Ahlul Bait sebenarnya adalah setiap orang yang tidak boleh menerima sedekah (Zakat).” Hushain bertanya lagi, “Siapa sajakah mereka?” Zaid menjawab, “mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga Abbas.” Hushain bertanya lagi, “Apakah mereka semua tidak boleh menerima sedekah?” Zaid menjawab, “Ya, tidak boleh.” (Shahiih Muslim, Kitab “Fadhaailush Shahabaah”, Bab “Min Fadhaail ‘Ali ra” (no. 2408).
Dalam riwayat lain –selain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tersebut- seperti dalam riwayat at-Tirmidzi, Ahmad, An-Nasai dalam al-Khashaaish, al-Hakim dan ulama lainnya terdapat redaksi tambahan, yakni : Nabi saw bersabda, “Barang siapa yang (menjadikan) aku sebagai penolongnya, maka Ali (juga) sebagai penolongnya.”
Ada pula riwayat lain dengan tambahan redaksi yang berbeda, yakni sabda Nabi saw, “Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya (Ali) dan musuhilah orang yang memusuhinya. Tolonglah orng yang menolongnya, dan jagan Engkau tolong orang yang tidak menolongnya. Jadikanlah kebenaran selalu bersamanya.”
Sebenarnya terdapat riwayat lain dengan tambahan-tambahan yang berbeda, namun saya kira tidak ada gunanya menyebutkan semuanya di sini.
Mengenai tambahan redaksi hadits yang terdapat di luar riwayat Muslim tadi
“Barang siapa yang (menjadikan) aku sebagai penolongnya, maka Ali (juga) sebagai penolongnya.” Lafazh ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ahmad, an-Nasai, al-Hakim dan yang lainnya dengan sanad shahih dari Nabi saw. Adapun lafazh tambahan berikut :
“Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya (Ali), dan musuhilah orang yang memusuhinya,”
lafazh hadits ini dishahihkan oleh sebagian ulama meskipun sebenarnya tidak shahih. Sedangkan lafazh :
“Tolonglah orang yang menolongnya dan jangan Engkau tolong orang yang tidak menolongnya. Jadikanlah kebenaran selalu bersamanya,”
Lafazh tambahan ini termasuk kebohongan atas Nabi saw.
Syiah menjadikan hadits Ghadiir Khum (sunga Khum) ini sebagai dalil bahwa yang seharusnya menjadi khalifah setelah Rasulullah saw adalah Ali bin Abi Thalib ra, berdasarkan sabda beliau :
“Barangsiapa yang (menjadikan) aku sebagai penolongnya, maka Ali (juga) sebagai penolongnya.”
Mereka memaknai hadits ini dengan dengan hak kekhalifahan Ali ra sebagai pengganti beliau. Menurut mereka, kata al-maulaa di sini berarti al-waali, yaitu pemimpin yang harus ditaati. Demikian cara mereka berargumen dengan hadits di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar